Gunung Kidul merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kaya akan pesona alam dan budayanya. Salah satu budaya setempat yang masih dipertahankan adalah tradisi Nyadran.
Tradisi yang masih kuat dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Sidorejo, Gunung Kidul ini dipercaya sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta.
Lalu, seperti apa sejarah, prosesi, hingga suasana tradisi Nyadran di tahun 2024? Telkomsel udah membuat rangkumannya lewat poin pembahasan berikut ini.
Buat kamu yang mau jalan-jalan ke Gunung Kidul dan mampir ke dusun Blarangan yang jadi tempat digelarnya tradisi Nyadran, jangan lupa untuk selalu punya kuota internet dari Telkomsel.
Makanya, download aplikasi MyTelkomsel untuk kemudahan aktivasi paket internet di mana pun. Kalau paketnya udah aktif, kamu bisa dokumentasi dan upload kegiatan tradisi seperti Nyadran ini jika beruntung.
Nah, biar lebih tau momen-momen menarik yang ada di tradisi Nyadran, simak dulu penjelasannya berikut ini.
Baca Juga: Pantai Slili, Wisata Pasir Putih Gunungkidul
Sejarah Tradisi Nyadran
Dilansir dari Harian Jogja, tradisi Nyadran sudah dilakukan oleh masyarakat Gunung Kidul secara turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Makna di balik tradisi ini ialah sebagai ungkapan syukur kepada Sang Maha Pencipta setiap sekali dalam setahun.
Namun, ternyata tradisi ini memiliki sejarahnya sendiri yang berkaitan dengan munculnya salah satu dusun atau Padukuhan Blarangan di Gunung Kidul.
Konon ada dua penggawa Majapahit yang lari dari kerajaan. Mereka bernama Tumenggung Wayang dan Tumenggung Sesuco Ludiro.
Singkat cerita, mereka dikejar oleh para prajurit kerajaan lantaran dipaksa untuk kembali. Akibat penolakannya, pertempuran antara prajurit dan dua penggawa tersebut terjadi hingga keduanya dikepung atau dikalang.
Dari peristiwa itu, kemudian muncul nama Padukuhan Kalangan di Kecamatan Karangmojo.
Ki Wayang yang saat itu sulit untuk ditaklukkan kemudian dibunuh dengan cara tiga bagian tubuhnya dipisah. Hal ini membuatnya tersungkur tak berdaya dan wafat.
Peperangan tersebut telah menyebabkan pertumpahan darah. Daerah peperangan itu kemudian disebut Blarangan, dari kata Mblarah Getih Blarah.
Akhir kisah, setelah Ki Wayang wafat, Ki Secuco Ludiro yang masih bertahan hidup lalu mengajarkan cara bercocok tanam dan menjadikan daerah tersebut subur makmur. Setelah sekian lama, Ki Seco akhirnya wafat dan dikebumikan di Blarangan.
Saat ini, Padukuhan Blarangan berada di bawah wilayah administratif Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Baca Juga: Menikmati Indahnya Hamparan Pasir Putih dan Karang di Pantai Drini Gunungkidul, Yogyakarta
Prosesi Tradisi Nyadran
Sebagaimana kisah sejarahnya, tradisi Nyadran atau Sadranan dianggap sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas terbentuknya Padukuhan Blarangan yang diinisasi oleh Ki Secuco Ludiro.
Bentuk syukur ini dilakukan dengan berbagai kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat Sidorejo setiap tahunnya. Tepatnya tradisi ini digelar pada tanggal 15 Ruwah dalam penanggalan Jawa.
Pada hari disepakati digelarnya tradisi Nyadran, warga setempat mempersiapkan ayam ingkung atau ayam utuh yang dimasak dengan bumbu gurih. Ayam tersebut dibawa dalam tenggok (tempat nasi beralas daun pisang) bersama dengan nasi gurih.
Setelah seluruh masyarakat berkumpul membawa tenggok, tokoh masyarakat akan memimpin doa di depan petilasan Raden Mas Tumenggung Djoyo Dikromo Secuco Ludiro.
Doa tersebut dipimpin menurut agama Islam. Tapi, bagi mereka yang menganut keyakinan lain dipersilakan berdoa menurut kepercayaan masing-masing.
Setelah doa selesai, panitia acara akan membagikan bungkusan berisi makanan kepada warga yang datang tanpa membawa tenggok.
Suasana Tradisi Nyadran di 2024
Pada tahun 2024 sendiri, tradisi Nyadran sudah digelar pada bulan Februari sebelum puasa Ramadan, tepatnya 26 Februari 2024.
Tradisi Nyadran tahun 2024 dihadiri oleh Lurah Sidorejo Sidik Nur Syafe’i. Ribuan warga ikut berpartisipasi membawa ayam ingkung. Jadi, pada saat itu tradisinya bertajuk Tradisi Nyadranan Seribu Ingkung.
Adapun lokasi berkumpulnya warga adalah di petilasan Raden Mas Tumenggung Djoyo Dikromo Secuco Ludiro.
Antusias peserta tradisi Nyadran tidak hanya diperlihatkan oleh masyarakat Blarangan tapi juga masyarakat dari luar Blarangan.
Menurut Bupati Gunungkidul, Sunaryanta, tradisi semacam ini mampu mengumpulkan ribuan orang yang jarang bertemu dalam satu kegiatan. Hal ini menyiratkan kalau tokoh masa lalu masih bisa menyatukan warga sampai hari ini.
Baca Juga: 20 Wisata Edukasi di Jogja, Banyak yang Gratis Lho
Buat kamu yang mau datang ke Kelurahan Sidorejo untuk menyaksikan tradisi Nyadran, jangan lupa persiapkan libur di tanggal 15 Ruwah. Sebelum hadir, pastikan download MyTelkomsel karena bisa langsung booking hotel dan tiket pesawat dari aplikasi ini.