Cerita Yatinus Menjadi Guru di Pedalaman Papua
Kamu pernah mendengar wilayah bernama Eragayam? Eragayam adalah sebuah distrik yang berada di pedalaman Kabupaten Memberamo Tengah, Provinsi Papua. Untuk menembus distrik tersebut, pertama-tama kita bisa menempuh jalur udara menggunakan pesawat perintis untuk terbang selama 30 menit dari Wamena atau Karubaga menuju Distrik Bokondini. Selanjutnya, dari Bokondini menuju Eragayam, kita perlu menggunakan mobil 4x4 (four-wheel drive) untuk menempuh jalur darat yang kondisi jalannya belum beraspal selama sekira satu setengah jam.
Nah, di distrik tersebut, ada sebuah sekolah bernama Ob Anggen School. Sekolah ini dibangun oleh para sukarelawan yang memiliki misi untuk memajukan kualitas pendidikan anak-anak setempat. Salah satu guru yang mengajar di sekolah tersebut adalah Yatinus Kogoya. Pria berusia 22 tahun tersebut mengajar pelajaran K13 bagi tujuh siswa kelas II. Ia menceritakan perjalanannya menjadi seorang guru.
Ketika duduk di kursi sekolah dasar, ia bersemangat untuk belajar, walaupun harus berjalan kaki hingga 10 kilometer untuk sampai di sekolah. Yatinus kecil sempat merasakan trauma dipukul gurunya menggunakan rotan dan kayu jika ia berbuat salah di sekolah. Ketika beranjak dewasa, aspirasinya menjadi guru juga mendapat tentangan dari keluarganya sendiri, yang mengarahkannya untuk menjalani tes masuk untuk bekerja di lembaga pemerintahan. Meskipun demikian, ia tetap berambisi suatu saat nanti ia harus menjadi guru. “Jika saya tidak menjadi seorang guru, siapa yang akan mengajar adik-adik di daerah pedalaman nanti? Supaya adik-adik yang lain mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari saya,” kata Yatinus membulatkan tekadnya.
Misi mulia Yatinus ini mendapatkan titik terang ketika ia mendapatkan beasiswa penuh dari Yayasan Charis Indonesia untuk memperoleh pelatihan menjadi guru dalam program TransformNation pada tahun 2015 hingga 2019 di Malang, Provinsi Jawa Timur. Selama mengikuti program tersebut, Yatinus memperoleh pembekalan dan pembentukan karakter untuk menjadi seorang pendidik. Setelah lulus, ia ditempatkan di Ob Anggen School cabang Eragayam. Sekolah yang memiliki beberapa cabang di berbagai wilayah di Papua ini memang sudah bekerjasama dengan Yayasan Charis Indonesia.
Setelah mengajar di Ob Anggen School selama sekira satu tahun, Yatinus menceritakan beberapa tantangan yang ia hadapi ketika menjadi guru. Tantangan pertama, ia harus belajar menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Berasal dari suku Lani yang berbeda suku dengan masyarakat setempat, Yatinus perlu mengasah kemampuannya dalam berbahasa lokal, karena ada sebagian orang tua siswa yang belum bisa berbahasa nasional dengan baik.
Berikutnya, Yatinus harus menyadarkan orang tua siswa akan pentingnya pendidikan untuk anak agar bisa berhasil di masa depan. Menurut dia, sebagian orang tua siswa masih lebih memilih mengeluarkan uang untuk mengadakan acara-acara adat ketimbang menyekolahkan anaknya. Yatinus beserta guru dan pengurus sekolah kemudian mengadakan rapat dengan orang tua siswa untuk membuat mereka paham mengenai pentingnya pendidikan bagi masa depan anak mereka.
Tantangan lainnya adalah menghadapi siswa yang kemampuan akademik dan karakternya kurang baik. Berupaya mencari solusinya, ia bersama guru-guru lainnya mengadakan pertemuan mingguan untuk membahas dan mengatur strategi untuk kemajuan anak dalam akademik dan karakter. “Strategi ini sangat membantu guru dalam memahami kelebihan dan kekurangan anak,” ungkap Yatinus.
Walaupun banyak tantangannya, Yatinus juga merasa banyak memperoleh pelajaran berharga dengan menjadi seorang guru. “Memang menjadi seorang guru itu tidak gampang, tetapi saya mau belajar dan terus belajar dengan anak-anak didik di sekolah,” kata Yatinus bersemangat.
Bagi dia, yang paling menyenangkan adalah kesempatan untuk berbagi kehidupan dengan siswa dan siswi, di mana terjadi proses komunikasi terus menerus sepanjang hidup. Kemudian, membangun kepercayaan dengan mereka adalah hal yang paling mendasar dalam hidup ini. “Berbagi dengan mereka adalah suatu berkat,” tutur Yatinus.
Semangat itulah yang membuat Yatinus selalu mau belajar dan mengeksplorasi hal-hal baru. Misalnya, ia memanfaatkan layanan komunikasi untuk membangun komunikasi dengan guru lain dan memperkaya metode mengajarnya. “Melalui telepon, SMS, surat elektronik, pesan instan WhatsApp, dan media sosial Facebook, saya meminta saran dan ide dari guru lain. Selain itu, saya juga memanfaatkan internet untuk mencari informasi mengenai materi yang ingin saya ajarkan melalui gambar, lagu, dan video,” jelas Yatinus.
Sebagai seorang guru, Yatinus memiliki cita-cita untuk memajukan anak didiknya. “Saya yakin semua anak bisa. Tidak ada anak yang tidak bisa. Setiap anak dapat mencapai cita-cita dan mimpi mereka melewati setiap proses pendidikan yang benar dan berkualitas,” katanya optimis.
Memperingati Hari Guru Nasional yang jatuh setiap tanggal 25 November, Yatinus ingin mendedikasikan mimpi dan harapannya tersebut kepada orang-orang yang telah menuntun dan menginspirasinya menjadi seorang guru. “Terima kasih kepada tokoh-tokoh pendidikan dan semua guru Se-Tanah Air yang hidup di masa kini dan masa lalu. Tanpa ada pendidik sebelumnya, saya dan guru-guru sekarang tidak mungkin jadi seorang pendidik pada masa kini. Tanpa ada guru pada masa kini, tidak ada guru juga pada masa mendatang. Selamat hari guru untuk semua guru!” pungkasnya.